Cagar Alam Provinsi Sand Lakes, Manitoba, Kanada
(Jesika Hendricks menunjuk ke hamparan sampah sub-artik. Keindahan alami tempat itu telah tergantikan oleh gundukan sampah: mobil-mobil yang diabaikan, serpihan, serta mayat-mayat manusia yang setengah beku di antara salju putih dan kelabu. Jesika, yang datang dari Waukesha, Wisconsin walau aslinya orang Kanada, adalah anggota Proyek Restorasi Alam Liar. Bersama beberapa ratus orang sukarelawan, Jesika datang ke tempat ini setiap musim panas sejak ancaman zombie secara resmi dinyatakan berakhir. Para anggota proyek mengklaim telah mencapai kemajuan pesat, tetapi tak ada yang tahu kapan proyek itu akan berakhir.) Aku tidak menyalahkan pemerintah, atau orang-orang yang seharusnya melindungi kami. Kalau mau objektif, harusnya aku tidak berpikir begitu. Mereka tidak mungkin menyuruh semua orang membuntuti tentara ke barat hingga ke balik Pegunungan Rocky. Bagaimana caranya mereka memberi makan dan memeriksa kami, serta menghentikan pasukan mayat hidup yang terus membuntuti kami? Aku paham mengapa mereka ingin mengarahkan sebanyak mungkin pengungsi ke utara. Maksudnya, bagaimana lagi mereka akan menangani kami? Menghalangi kami dengan pasukan bersenjata, atau menyerang kami dengan gas seperti di Ukraina? Setidaknya, di utara, kami masih punya kesempatan. Ketika suhu menurun drastis dan para zombie membeku, kami mungkin bisa bertahan hidup. Itu terjadi di seluruh dunia, orang-orang lari ke utara dan berharap tetap hidup sampai musim dingin tiba. Tidak, aku tidak menyalahkan mereka. Aku bisa memaafkan itu. Tapi cara mereka yang tidak bertanggung jawab, kurangnya informasi penting yang mungkin bisa membantu lebih banyak orang agar tetap hidup...itu yang aku tak bisa maafkan. Saat itu Agustus, dua minggu setelah Perang Yonkers dan tiga hari setelah pasukan militer kami mulai mundur ke barat. Di dekat rumahku tidak banyak kejadian. Aku cuma pernah lihat satu: enam zombie yang mengeroyok dan memakan seorang gelandangan. Polisi dengan cepat mengurus mereka. Kejadiannya hanya tiga blok dari rumah kami, dan saat itulah ayahku memutuskan untuk membawa kami pergi. Kami di ruang tamu. Ayahku sedang belajar mengisi senapan barunya, dan ibuku memaku papan-papan ke jendela. Semua saluran TV menayangkan apapun tentang zombie, entah itu liputan langsung atau siaran rekaman dari Yonkers. Sampai sekarang, aku masih tak percaya betapa tidak profesionalnya media saat itu. Banyak fakta yang diputarbalikkan. Semua komentar para "ahli" saling simpang-siur, masing-masing ingin jadi yang paling "mengejutkan" atau "mendalam". Satu hal yang mereka semua setujui adalah para penduduk sipil harus "pergi ke utara." Karena para zombie bisa membeku, cuaca dingin adalah harapan kami. Itu saja yang kami dengar. Tak ada informasi soal ke mana tepatnya kami harus pergi, apa yang harus dibawa, bagaimana cara bertahan hidup. Hanya satu slogan sialan itu saja yang kami dengar: "Ke utara. Ke utara. Ke utara." "Baiklah," ujar ayahku. "Kita keluar dari sini malam ini, dan pergi ke utara." Dia mencoba kedengaran bertekad sembari menepuk senapannya. Dia tidak pernah menyentuh senjata api selama hidupnya. Dia pria yang lembut. Pendek, botak, dengan wajah bundar yang akan memerah kalau tertawa, dia jagonya melontarkan lawakan-lawakan tak lucu dan pelesetan. Dia selalu punya hadiah kecil; pujian, senyuman, atau sedikit tambahan uang jajan yang tidak diberikan ibuku. Dia adalah si polisi baik kalau di rumah, semua keputusan besar diserahkan pada ibuku. Ibu mencoba mendebatnya, mengajukan berbagai alasan. Kita tinggal di atas permukaan salju tertinggi, dan punya semua yang dibutuhkan. Mengapa kita harus pergi ke daerah tak dikenal sementara kita bisa menumpuk persediaan, memperkuat rumah, dan menunggu salju pertama turun? Ayahku tak mau dengar. "Kita bisa mati saat musim gugur tiba, atau bahkan minggu depan!" Dia begitu terpengaruh oleh Kepanikan Besar. Dia bilang pada kami itu akan seperti perjalanan berkemah yang lama. Kami akan pesta burger rusa dan buah beri liar untuk pencuci mulut. Dia janji mengajariku memancing, dan bertanya nama apa yang akan kuberikan pada kelinci peliharaanku kalau kami nanti berhasil menangkapnya. Ayahku tinggal di Waukesha seumur hidupnya. Dia tidak pernah berkemah. (Jesika menunjukkan padaku sesuatu yang setengah terkubur salju; keping-keping DVD yang sudah remuk.) Inilah yang orang-orang bawa dari rumah mereka: pengering rambut, game, lusinan laptop. Aku tak mengira mereka akan sebodoh itu dan berpikir bisa menggunakan semuanya di sini. Yah, mungkin beberapa. Kupikir orang-orang ini cuma takut akan kehilangan benda-benda itu; mereka pikir mereka akan pulang enam bulan kemudian dan menemukan rumah mereka dijarah. Keluargaku berkemas dengan lebih masuk akal. Pakaian hangat, alat memasak, seisi lemari obat, dan semua makanan kaleng yang bisa kami bawa. Kelihatannya malah cukup untuk bertahun-tahun. Tapi kami menghabiskan separuhnya sepanjang perjalanan. Itu tidak menggangguku. Kami toh akan berpetualang di alam liar. Kau tahu semua cerita tentang jalanan macet dan aksi kekerasan itu? Itu tidak terjadi pada kami. Kami adalah rombongan pertama. Kebanyakan orang yang mendahlui kami adalah orang Kanada, dan mereka sudah lama pergi. Lalu-lintas memang masih agak macet, dan ada lebih banyak mobil dari yang biasa kulihat, tapi semuanya bergerak cukup cepat. Kemacetan hanya terjadi di sekitar kota-kota kecil dan taman. Taman? Taman, fasilitas perkemahan, pokoknya di mana saja orang pikir mereka sudah cukup jauh. Ayahku biasa meremehkan orang-orang itu, menyebut mereka picik dan tak masuk akal. Dia bilang mereka masih terlalu dekat dengan pusat pemukiman, dan satu-satunya cara bertahan adalah dengan pergi sejauh mungkin ke utara. Ibuku selalu bilang kalau itu bukan salah mereka; mungkin mereka cuma kehabisan bensin. "Dan salah siapa itu?" Balas ayahku. Kami punya banyak persediaan bensin dalam jerigen-jerigen yang diikat di atap mobil. Ayah sudah menumpuk banyak bensin sejak hari pertama Kepanikan Besar. Kami melewati banyak kemacetan dan antrian di pom bensin, semuanya memasang tanda besar "BENSIN HABIS." Ayahku ngebut melewati mereka. Dia selalu ngebut ketika melewati banyak hal: mobil yang mogok di pinggir jalan, atau orang-orang yang ingin menumpang. Banyak di antara mereka berjalan dalam barisan, terlihat seperti layaknya pengungsi. Terkadang ada satu atau dua mobil yang berhenti untuk mengangkut beberapa orang, dan mendadak semuanya juga ingin ikut menumpang. "Lihat, itulah akibatnya." Ayahku selalu bilang begitu. Kami sempat mengangkut seorang wanita. Dia berjalan sendirian dan menyeret koper beroda. Dia kelihatannya tak berbahaya, sendirian dan kehujanan. Mungkin itu sebabnya ibuku menyuruh ayah mengangkutnya. Namanya Patty, dia dari Winnipeg. Dia tidak bilang bagaimana dia sampai berjalan sendirian, dan kami juga tidak bertanya. Dia sangat bersyukur dan mencoba memberi semua uangnya pada orangtuaku. Ibuku menolak dan berjanji akan membawanya bersama kami. Dia menangis penuh terima kasih. Aku bangga pada orang tuaku karena melakukan hal yang benar, sampai dia bersin dan mengangkat saputangan ke hidungnya. Tangan kirinya ada di dalam sakunya sepanjang perjalanan, dan tangan itu terbalut perban dengan sesuatu mirip darah di bawahnya. Dia melihat tatapan kami, dan mendadak jadi gugup. Dia bilang kami tak perlu khawatir; tangannya tergores secara tak sengaja. Ayah memandang ibu, dan mendadak mereka jadi diam. Mereka menolak melihatku atau mengatakan sesuatu. Malam itu, ketika terbangun, aku mendengar pintu mobil terbanting menutup. Mulanya aku tak merasa aneh; kami kadang-kadang memang berhenti untuk buang air, dan ibu selalu membangunkanku untuk bertanya apa aku mau buang air. Akan tetapi, kali itu, aku tak tahu apa yang terjadi sampai mobil kami mulai berjalan. Aku menatap berkeliling mencari Patty, tapi dia tidak ada. Aku tanya orang tuaku apa yang terjadi, dan mereka bilang Patty meminta mereka untuk menurunkannya. Aku melihat ke belakang dan melihat sosoknya, semakin lama semakin kecil. Kupikir dia berusaha berlari menyusul kami, tapi aku sangat capek sehingga tak begitu yakin. Atau mungkin aku hanya tak mau tahu. Ada banyak hal yang aku pura-pura tak lihat sepanjang sisa perjalanan kami. Misalnya apa? Misalnya orang-orang yang hendak menumpang. Jumlahnya tidak banyak karena itu baru gelombang pertama. Kami biasanya melihat mereka dalam jumlah sekitar setengah lusin, berjalan di tengah jalan, memberi isyarat tangan ketika melihat mobil kami. Ayah akan mengepot melewati mereka, dan ibu menyuruhku membungkuk dan menyembunyikan wajahku. Aku membenamkan wajahku di kursi mobil dan menutup mata. Aku tak mau melihat mereka. Aku terus berpikir tentang burger rusa dan buah beri liar. Rasanya seperti menuju ke Tanah yang Dijanjikan. Kupikir ketika kami tiba di utara, semuanya akan baik-baik saja. Mulanya semua oke. Kami mendapat tempat berkemah bagus di tepi danau. Orang-orangnya tidak begitu banyak, tapi cukup untuk membuat kami merasa "aman," siapa tahu ada mayat hidup muncul. Semuanya sangat ramah; kelompok besar orang-orang yang merasa lega dan aman. Rasanya malah agak seperti pesta. Kami sering masak bersama, dan orang-orang menyumbangkan hewan-hewan yang mereka buru atau pancing. Beberapa pria melempar dinamit ke danau, lalu ada letusan besar, dan ikan-ikan akan mengapung ke permukaan. Aku tak akan pernah melupakan suara-suara itu. Orang-orang menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon, suara musik dari radio mobil dan alat-alat musik yang dibawa para keluarga. Kami semua bernyanyi di sekitar api unggun setiap malam, dengan api unggun raksasa dari kayu-kayu besar. Itu saat kami masih punya pepohonan, sebelum gelombang pengungsi kedua dan ketiga mulai muncul, sebelum orang-orang mulai membakar dedaunan dan sisa-sisa kayu, dan akhirnya apa saja yang bisa mereka bakar. Bau plastik dan karet terbakar sangat buruk, seolah menempel di mulut dan rambutmu. Pada saat itu, ikan-ikan sudah habis, begitu juga dengan hewan-hewan buruan. Orang-orang tak khawatir. Mereka pikir musim dingin akan segera membekukan zombie. Tapi, ketika para zombie membeku, bagaimana kalian bertahan menghadapi musim dingin? Pertanyaan bagus. Kupikir kebanyakan orang tak berpikir sejauh itu. Mungkin mereka pikir pihak berwenang akan menjemput mereka, atau mereka bisa berkemas dan pulang. Aku yakin kebanyakan tak berpikir jauh, kecuali menghadapi hari demi hari, bersyukur mereka masih hidup dan percaya bahwa segala sesuatu akan beres sendiri. "Kita akan segera pulang," mereka berkata, "semua ini akan berakhir saat Natal." (Dia kembali menunjuk sesuatu yang setengah terkubur di antara salju. Sebuah kantung tidur bermotif Spongebob SquarePants, kecil dan bernoda kecoklatan.) Pikirmu ini pesta menginap di kamar tidur dengan alat pemanas? Oke, mungkin tak semua bisa membawa perlengkapan yang pantas; toko perlengkapan berkemah selalu jadi yang pertama habis dijarah. Tapi kau tak akan percaya betapa bodohnya sebagian orang-orang ini. Banyak dari mereka yang datang dari area Sabuk Matahari,* bahkan Meksiko Selatan. Ada orang masuk ke balik kantung tidur dengan masih pakai sepatu, padahal itu akan memutus sirkulasi tubuh. Mereka minum alkohol untuk menghangatkan badan, padahal itu justru menurunkan suhu tubuh dengan melepaskan lebih banyak panas. Mereka pakai mantel tanpa apa-apa lagi di bawahnya kecuali kaos. Lalu mereka akan melakukan aktivitas fisik dan keringatan, dan kaos katun itu menahan cairan tubuh, dan kemudian angin dingin berhembus.... Banyak orang yang sakit di awal September, Flu dan pilek. Mereka menularkannya pada yang lainnya. Mulanya semua orang masih ramah. Kami bekerjasama. Kami barter atau membeli apa yang kami butuhkan dari tetangga kami. Uang masih berharga; semua orang pikir bank akan segera buka. Setiap kali ibu dan ayah pergi mencari makanan, mereka akan menitipkanku pada tetangga. Aku punya radio survival kecil, jenis yang harus diengkol agar menyala supaya kami bisa mendengar berita setiap malam. Semua beritanya tentang penarikan tentara dan rakyat sipil yang terabaikan. Kami mendengar berita dengan peta jalan Amerika Serikat terbentang, menunjuk berbagai kota darimana berita itu disiarkan. Aku duduk di pangkuan ayahku. "Coba lihat," katanya, "mereka tak bisa keluar tepat waktu. Mereka tidak pintar seperti kita." Dia mencoba memaksakan senyum, dan kupikir saat itu dia benar. Tetapi, setelah bulan pertama dan makanan mulai habis, dan hari-hari semakin dingin dan gelap, orang-orang mulai jadi jahat. Tak ada lagi api unggun, masak-masak atau menyanyi bersama. Perkemahan jadi kotor, tak ada lagi yang repot-repot menyimpan sampah. Sesekali aku tak sengaja menginjak tinja. Tak ada lagi yang menguburnya. Aku tak lagi dititipkan ke tetangga, orang tuaku tak memercayai siapapun. Situasi jadi berbahaya, ada banyak perkelahian. Aku melihat dua wanita berkelahi memperebutkan sebuah mantel bulu, dan merobek bendak itu tepat di tengah-tengah. Seorang pria melihat pria lain mencoba mencuri sesuatu dari mobilnya, lalu dia memukulnya dengan batang pencungkil ban. Suara-suara perkelahian dan teriakan itu kebanyakan terdengar di malam hari. Sesekali ada suara tembakan, lalu seseorang menangis. Suatu malam, kami mendengar seseorang mengendap-endap dekat kemah darurat yang kami bentangkan di atas mobil. Ibu menyuruhku menundukkan kepala dan menutup telinga. Ayah keluar. Aku mendengar suara tembakan lewat telapak tanganku. Pistol ayahku. Seseorang menjerit. Saat ayahku kembali, wajahnya pucat, Aku tak pernah tanya apa yang terjadi. Satu-satunya saat semua orang bersatu adalah ketika zombie muncul. Mereka mengikuti gelombang pengungsi ketiga, dan biasanya muncul dalam kawanan kecil. Itu terjadi tiap beberapa hari sekali. Setiap mereka datang, akan ada yang memberi peringatan, dan semua orang bersatu untuk mengusir mereka. Lalu, setelah semua selesai, kami saling bersitegang lagi. Ketika cuaca sudah cukup dingin untuk membekukan danau, ketka mayat hidup mulai tak terlihat lagi, beberapa orang berpikir bahwa sudah cukup aman untuk berjalan kembali ke rumah. Berjalan? Tidak menyetir? Tidak ada bensin lagi. Semua sudah habis untuk memasak atau menjalankan pemanas mobil. Setiap hari, orang-orang akan membentuk kelompok-kelompok lusuh kelaparan dengan barang-barang tak berguna yang mereka bawa, wajah mereka semua nampak putus asa. "Memangnya mereka mau ke mana?" Ayahku berkata. "Apa mereka tidak tahu kalau semakin ke selatan semakin dingin? Apa mereka tidak sadar apa yang menanti mereka di sana?" Ayahku yakin kalau kami bertahan cukup lama, cepat atau lambat semua akan baik-baik saja. Saat itu bulan Oktober, dan aku masih terlihat seperti manusia. (Kami melihat tumpukan tulang-belulang, terlalu banyak untuk dihitung. Mereka menumpuk di dalam sebuah lubang dangkal dan setengah terkubur salju.) Aku dulu anak gendut. Aku tak pernah olahraga, selalu ngemil. Aku hanya bertambah kurus sedikit saat kami tiba di sini bulan Agustus. Bulan November, aku sudah tinggal tulang. Orangtuaku tidak lebih baik. Perut ayah kempes, dan tulang pipi ibuku sangat menonjol. Mereka jadi sering bertengkar tentang segalanya. Mereka membuatku takut. Mereka tak pernah membentak saat di rumah. Mereka guru sekolah "progresif." Kalaupun bertengkar, paling-paling makan malam yang diam dan sedikit tegang, tapi tak pernah seperti saat itu. Suatu hari, aku tak bisa bangun. Perutku membengkak, dan kulit sekitar mulutku mengelupas. Ada bau enak keluar dari mobil rekreasi di sebelah kami. Sepertinya mereka memasak daging; baunya benar-benar sedap. Ayah dan ibu bertengkar di luar. Ibu bilang "itu" satu-satunya cara; aku tidak tahu apa maksudnya "itu." Kata ibuku, mereka yang jahat, bukan kami. Ayahku bilang kami tak akan merosot sampai ke level mereka dan ibuku harusnya malu pada dirinya sendiri. Ibuku menjerit bahwa salah ayahkulah kami ada di sini, dan aku sekarat. Ibu bilang pria sejati harusnya tahu apa yang harus dilakukan. Ibu memanggil ayahku "lemah" dan "banci." Ayahku membentak ibuku supaya "menutup congornya." Padahal ayahku tidak pernah sekalipun mengumpat. Lalu aku mendengar suara hantaman. Saat ibuku kembali, dia memegangi segumpal salju di mata kanannya. Ayah mengikutinya. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi ada ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya di wajahnya, seperti orang asing. Dia menyambar radio kami, radio yang selalu ditawar orang-orang untuk ditukar...atau terancam dicuri. Dia membawanya dan kembali ke mobil rekreasi itu. Sepuluh menit kemudian, dia kembali tanpa radio itu, tetapi dia membawa ember berisi daging rebus yang panas mengepul. Rasanya enak sekali! Ibu bilang jangan makan terlalu cepat. Dia menyuapiku dengan sendok kecil. Wajahnya terlihat sangat lega, dan dia menangis sedikit. Ekspresi ayahku masih sama. Ekspresi yang sama dengan yang akhirnya muncul di wajahku beberapa minggu kemudian, ketika ayah ibuku jatuh sakit dan aku gantian memberi makan mereka. (Aku membungkuk untuk memeriksa tumpukan tulang. Semuanya patah dan sumsumnya dikeluarkan.) Musim dingin benar-benar menghantam kami saat Desember tiba. Salju menimpa kami semua, tebal dan kelabu karena polusi. Perkemahan itu jadi senyap. Tak ada perkelahian atau penembakan lagi. Saat Natal tiba, kami yang tersisa mendapat banyak makanan. (Jesika mengangkat sesuatu yang mirip tulang paha berukuran kecil; dagingnya telah dibersihkan dengan pisau.) Katanya sebelas juta orang tewas pada musim dingin itu, dan itu baru di Amerika Utara, belum termasuk daerah-daerah lain seperti Greenland, Islandia, Skandinavia. Aku bahkan tak mau memikirkan Siberia dan para pengungsi di sana; mereka yang dari Cina Selatan, para pengungsi dari Jepang yang belum pernah sekalipun ke luar kota, dan semua orang miskin dari India. Itu adalah tahun pertama Musim Dingin Kelabu, ketika polusi di langit mulai memengaruhi cuaca. Katanya, sebagian polusi itu berasal dari abu sisa pembakaran tubuh-tubuh manusia. (Dia menancapkan palang penanda di tepi lubang itu.) Butuh waktu lama sampai matahari akhirnya muncul, cuaca menjadi hangat, dan salju meleleh. Saat pertengahan Juli, musim semi akhirnya tiba, dan begitu juga dengan para zombie. (Salah satu anggota tim memanggil kami. Sesosok zombie nampak setengah terkubur, membeku karena terkubur es dari pinggang ke bawah. Kepala, lengan, dan tubuh bagian atasnya masih bergerak-gerak liar. Dia melolong dan mencakar-cakar, mencoba merayap ke arah kami.) Mengapa mereka hidup kembali setelah membeku? Sel tubuh manusia terdiri dari air, 'kan? Ketika air dalam sel membeku, air itu mengembang dan merusak dinding sel. Makanya kau tak bisa begitu saja membekukan orang yang tidak bergerak. Jadi kenapa para zombie ini selalu hidup kembali? (Zombie itu mendadak menerjang ke arah kami; tubuh bagian bawahnya hampir lepas. Jesika mengangkat senjatanya, sebuah linggis berat, dan dengan santai menghantam remuk tengkorak zombie itu.) Baca bagian selanjutnya di sini. *Sun Belt area: istilah untuk area di Amerika Serikat bagian selatan dan tenggara, yang memiliki iklim hangat serta musim dingin lebih singkat, seperti California, Nevada, Texas, Oklahoma, Florida, New Mexico, dan sebagainya.
0 Comments
Sanatorium Veteran Yevchenko, Odessa, Ukraina
(Kamar itu tak berjendela. Lampu pijar remang-remang menerangi dinding beton dan kasur yang tak pernah dicuci. Para pasien di sini kebanyakan menderita penyakit pernapasan, yang diperparah dengan kelangkaan obat-obatan. Tidak ada dokter, dan para perawat serta petugas tak terlatih tak bisa berbuat banyak untuk meringankan penderitaan. Setidaknya kamar itu hangat dan kering, dan untuk negara yang sedang dilanda musim dingin, itu adalah kemewahan tak terkira. Bohdan Taras Kondratiuk duduk tegak di atas ranjangnya di sudut ruangan. Sebagai pahlawan perang, dia mendapat hak istimewa: tirai di sekeliling ranjangnya untuk privasi. Dia batuk-batuk ke dalam saputangannya sebelum bicara.) Kacau sekali. Aku tak tahu bagaimana menggambarkannya; mungkin keruntuhan sistem kendali. Kami baru saja melalui berbagai pertempuran brutal: di Luck, Rovno, Novograd, Zhitomir. Zhitomir sialan. Anak buahku sudah capek, kau tahu. Semua yang mereka lihat dan harus lakukan, dan pada saat yang sama, mereka harus terus mundur, menjaga garis belakang, dan terus berlari. Setiap hari kami mendengar kabar kota yang diserbu, jalan yang ditutup, dan pasukan yang dikalahkan. Kiev harusnya aman. Kota itu harusnya menjadi pusat zona aman kami; terjaga dengan baik, memiliki banyak persediaan, dan tenang. Bisa kau tebak apa yang terjadi ketika kami tiba? Apakah kami bisa istirahat? Memperbaiki kendaraan, menambah jumlah pasukan, merawat yang terluka? Tentu saja tidak! Itu tidak pernah terjadi. Zona aman kami lagi-lagi digeser, kali ini ke Krimea. Pemerintah kami kabur ke Sevastopol. Keteraturan sipil sudah ambruk. Seluruh penduduk Kiev sudah dievakuasi. Yang tersisa adalah misi untuk kami para tentara, atau apapun yang tersisa dari kami. Pasukan kami diperintahkan untuk mengawasa rute pelarian di Jembatan Patona. Itu adalah jembatan pertama yang semua bagiannya dilas secara elektrik, dan negara lain kerap menyamakan pencapaian itu dengan Menara Eiffel. Pemerintah kota sudah merencanakan proyek restorasi besar-besaran; proyek impian untuk mengembalikan kejayaannya. Tapi seperti halnya segala hal di negara kami, mimpi itu tak pernah tercapai. Bahkan sebelum krisis zombie, jembatan itu seperti mimpi buruk lalu lintas. Jembatan itu kemudian tambah sesak oleh pengungsi. Jembatan itu harusnya dibarikade untuk mencegah lalu lintas kendaraan, tapi mana barikade yang dijanjikan? Mana beton dan baja yang harusnya bisa menghentikan arus lalu lintas yang masuk secara paksa? Di mana-mana ada mobil, Lag dan Zhig yang mungil, beberapa Mercedes, bahkan truk GAZ sebesar gajah yang terbalik di tengah-tengah jembatan! Kami mencoba menariknya, mengaitkan rantai pada porosnya dan menariknya dengan tank. Tidak berhasil. Mau bagaimana lagi? Mengertilah, kami peleton kendaraan lapis baja. Kami pengemudi tank, bukan polisi militer. Tapi kami tidak melihat satupun polisi militer. Kami diberitahu mereka akan ada di sana, tapi mereka tidak ada, tidak juga "unit" lain. Menyebut mereka "unit" sebenarnya konyol. Mereka cuma gerombolan berseragam, anggota staf dan koki, pokoknya semua yang ada kaitannya dengan militer mendadak ditugaskan mengatur lalu-lintas di jembatan. Tak ada seorangpun yang dilatih untuk ini...kami tidak dipersiapkan untuk ini. Mana perlengkapan anti kerusuhan yang dijanjikan? Mana baju pelindung, perisai, meriam air? Kami diperintahkan untuk "memproses" para pengungsi, dalam artian memeriksa apakah mereka terinfeksi atau tidak. Tapi mana anjing pelacaknya? Bagaimana lagi kami harus mengecek mereka tanpa anjing pelacak? Apakah kami harus mengecek mereka sendiri satu-persatu? Ternyata ya, itulah yang mereka perintahkan pada kami. (Dia menggelengkan kepala). Apakah kau pikir gerombolan panik yang kacau itu, yang dikejar bahaya dan dengan keamanan hanya beberapa meter di depan mereka, akan berbaris rapi dan mengantre sementara kami menelanjangi mereka satu-persatu untuk memeriksa kulit mereka? Kau pikir para pria akan diam saja sementara kami memeriksa para istri, ibu, dan putri mereka? Bisa kau bayangkan? Kami bisa apa lagi? Mereka harus dipisahkan jika kami mau hidup. Apa gunanya mengevakuasi orang jika yang terinfeksi juga bisa masuk? (Dia tertawa pahit). Semuanya kacau sekali! Beberapa menolak diperiksa, yang lain memilih kabur dan bahkan melompat ke sungai. Ada perkelahian. Beberapa babak belur, tiga orang ditikam, satu orang ditembak dengan Tokarev berkarat oleh seorang kakek yang ketakutan. Aku yakin orang itu mati sebelum tubuhnya menghantam air. Aku tidak ada di sana. Aku mencoba memanggil bantuan. Bantuan akan datang, begitu kata mereka terus-menerus. Jangan putus asa. Terus bertahan. Bantuan akan datang. Di seberang Sungai Dnieper, Kiev terbakar. Pilar-pilar asap hitam membubung dari pusat kota. Angin bertiup ke arah kami, dan baunya luar biasa. Campuran bau arang, karet terbakar dan daging hangus. Kami tidak tahu sudah seberapa jauh para zombie itu; mungkin satu kilometer, mungkin kurang dari itu. Di atas bukit, kami melihat biara terbakar. Sialan. Padahal dengan tembok-temboknya yang tinggi dan lokasi strategisnya, kami bisa mengubahnya menjadi markas pertahanan. Bahkan prajurit pemula bisa mengubahnya menjadi benteng; muati ruang bawah tanahnya dengan perbekalan, segel tiap pintu masuk, dan tempatkan penembak jitu di menara. Mereka bisa melindungi jembatan selamanya! Kupikir aku mendengar sesuatu, dari seberang sungai...kau tahu, suara-suara yang mereka buat saat mereka ada banyak, ketika sudah dekat...bahkan di antara jeritan, umpatan dan klakson, serta suara tembakan senapan dari jauh, kau akan mengenali suara itu. (Dia mencoba menirukan erangan zombie, tapi kemudian batuk tanpa henti. Dia menekankan saputangan ke wajahnya. Ketika ditarik, saputangan itu bernoda darah.) Suara itu membuatku berpaling dari radioku. Aku memandang ke arah kota. Sesuatu menarik perhatianku; sesuatu di atas atap yang bergerak cepat. Pesawat-pesawat jet itu melesat sangat dekat di atas kami. Ada empat pesawat, Sukhoi 25 "Rooks," terbang begitu rendah sampai bisa diidentifikasi dengan mudah. Apa-apaan ini? Pikirku. Apa mereka mencoba melindungi akses di jembatan? Mengebom area di belakangnya? Taktik itu memang berhasil di Rovno, setidaknya selama beberapa menit. Keempat Rooks itu berputar, seolah mengonfirmasi target, lantas menukik rendah dan melesat ke arah kami! Demi setan, pikirku, mereka akan mengebom jembatan! Mereka mengabaikan rencana evakuasi dan akan membunuh semua orang! "Pergi dari jembatan!" Aku berseru. "Semuanya lari!" Panik menerpa semua orang. Kau bisa melihatnya seperti gelombang, seperti arus listrik. Orang-orang mulai menjerit, mendorong-dorong ke depan, samping, belakang, satu sama lain. Lusinan melompat ke sungai, masih dalam baju-baju berat dan sepatu yang menghalangi mereka berenang. Aku menarik orang-orang ke seberang jembatan, menyuruh mereka lari. Aku melihat bom-bom mulai dijatuhkan, dan aku berpikir mungkin aku bisa terjun ke sungai di saat-saat terakhir, melindungi diri dari ledakan. Kemudian, parasut-parasutnya mulai terbuka, dan seketika itu juga aku tahu. Dalam sekejap, aku melesat seperti kelinci ketakutan. "Berlindung!" Seruku. "Berlindung!" Aku melompat ke dalam tank terdekat, menutupnya, dan menyuruh para kru untuk mengecek segelnya. Itu tank tua T-72. Kami tidak tahu apakah sistem tekanannya masih bekerja; sudah bertahun-tahun benda itu tidak dicek. Kami hanya bisa meringkuk dan berdoa di dalam peti mati baja itu. Si juru tembak menangis, si pengemudi diam membeku, dan si komandan, sersan junior yang usianya baru dua puluh tahun, meringkuk di lantai sambil mencengkeram kalung salib kecilnya. Aku menaruh tanganku di kepalanya, berusaha meyakinkannya bahwa kita akan baik-baik saja, sementara mataku terus menempel pada periskop. RVX tidak langsung bekerja sebagai gas. Benda itu muncul pertama kali sebagai hujan: tetesan-tetesan minyak kecil yang menempel di permukaan apapun yang mereka sentuh. Itu menyusup lewat pori-pori, mata, terus ke paru-paru. Tergantung dosisnya, efeknya bisa terlihat dengan segera. Aku bisa melihat anggota-anggota tubuh para pengungsi mulai gemetar. Lengan-lengan mereka terjuntai lemas ketika zat itu mulai menyerang sistem syaraf pusat. Mereka mengucek-ngucek mata, berjuang untuk bicara, bergerak, bernapas. Aku lega aku tidak bisa mencium bau celana dalam mereka, ketika isi usus besar dan kandung kemih keluar tanpa ampun. Kenapa mereka melakukannya? Aku tidak paham. Apakah si komandan tinggi tidak tahu kalau zat itu tidak berpengaruh apa-apa pada zombie? Apakah mereka tidak belajar dari apa yang terjadi di Zhitomir? Mayat pertama yang bergerak adalah seorang wanita. Lengannya berkedut melintasi punggung seorang pria, yang dari posisinya, tampaknya berusaha melindungi wanita itu. Tubuh si pria terhempas lunglai saat si wanita berdiri dengan lutut bergetar. Wajahnya ternoda oleh nadi-nadi yang menghitam. Kurasa dia melihatku, atau tank kami. Rahangnya membuka dan kedua lengannya terangkat. Aku bisa melihat yang lainnya mulai hidup kembali, setiap orang keempatbelas atau kelimabelas dari tubuh-tubuh di jembatan; semua orang yang tergigit dan berusaha menyembunyikannya dari kami. Kemudian aku paham. Ya, mereka jelas sudah belajar dari Zhitomir, dan sekarang, mereka menemukan cara yang lebih baik untuk memanfaatkan persediaan senjata Perang Dingin mereka. Bagaimana caranya kau bisa memisahkan yang terinfeksi dan yang tidak? Bagainana kau bisa mencegah para pengungsi menyebarkan infeksi di belakang garis pertahanan? Begitulah caranya. Mayat-mayat itu mulai bangkit seluruhnya, berdiri, dan tersaruk-saruk melintasi jembatan ke arah kami. Aku memberi isyarat ke si juru tembak. Dia hampir tak bisa bereaksi. Aku menendang punggungnya, meneriakinya agar segera membidik. Butuh beberapa detik lebih lama, tapi dia berhasil membidik ke arah si mayat perempuan, dan menekan pelatuk. Aku menutup telingaku saat senjatanya berdebum. Tank-tank lain mengikuti. Dua puluh menit kemudian, semuanya selesai. Aku tahu aku harusnya menuruti perintah, atau setidaknya melaporkan status kami setelah serangan itu. Aku bisa melihat enam pesawat Rooks melintas; lima menuju ke jembatan lainnya, dan satu ke arah kota. Aku memerintahkan pasukanku untuk mundur ke barat daya, dan terus bergerak. Ada banyak mayat di sekitar kami, orang-orang yang berhasil menyeberangi jembatan tepat sebelum serangan gas. Tubuh-tubuh mereka pecah saat tank kami menggilas mereka. Apakah kau pernah ke Komplek Museum Perang Patriotik Besar? Itu dulu salah satu bangunan termegah di Kiev. Halamannya penuh dengan mesin-mesin perang: tank dan senapan segala jenis dan ukuran, dari zaman Revolusi hingga sekarang. Dua buah tank saling berhadapan di pintu masuk museum. Mereka dihiasi gambar-gambar berwarna-warni, dan anak-anak boleh naik ke atasnya. Ada Salib Besi setinggi satu meter, disusun dari seratus buah medali Salib Besi kecil yang dirampas dari mayat-mayat pengikut Hitler. Ada lukisan dinding yang menggambarkan peperangan besar. Para tentara kami bersatu dalam gelombang semangat dan keberanian yang menghantam Jerman, mengusir mereka dari tanah air kami. Ada begitu banyak simbol pertahanan nasional di museum, tetapi tak ada yang lebih megah dibandingkan patung Rodina Mat (Ibu Pertiwi). Itu adalah struktur tertinggi di Kiev, mahakarya besi baja setinggi lebih dari enam puluh meter. Dia adalah hal terakhir yang kulihat di Kiev, dengan pedang dan perisainya terangkat dalam pose kemenangan abadi, matanya yang dingin dan cemerlang menatap kami saat kami melarikan diri.
Armagh, Irlandia
(Philip Adler bukan Katolik, tetapi dia adalah satu di antara para pengunjung tempat pengungsian milik Paus di masa perang. "Istriku orang Bavaria," ujarnya padaku saat kami duduk di bar hotel. "Dia berkeras mengunjungi Katedral Santo Paul." Ini adalah kali pertama dia keluar dari Jerman sejak perang zombie berakhir. Kami bertemu secara kebetulan, tetapi dia tidak keberatan direkam). Hamburg dibanjiri zombie. Mereka ada di jalanan, di tiap gedung, membanjir keluar dari Neuer Elbtunnel. Kami sudah mencoba menghalangi mereka dengan mobil-mobil penduduk, tetapi mereka menerobos lewat tiap celah sempit, seperti cacing-cacing bengkak yang berdarah-darah. Para pengungsi juga ada dimana-mana. Mereka datang dari mana-mana, termasuk Saxony, berpikir bahwa mereka bisa kabur lewat laut. Akan tetapi, kapal-kapal sudah pergi, dan pelabuhan nampak berantakan. Ribuan orang terperangkap di Reynolds Aluminiumwerk, dan lebih banyak lagi di terminal Eurokai. Tidak ada makanan atau air bersih; mereka cuma bisa menunggu diselamatkan seraya dikepung oleh zombie. Aku tidak tahu ada berapa banyak yang terinfeksi. Pelabuhan penuh sesak oleh mayat hidup. Kami mencoba menahan mereka tetap di pelabuhan dengan meriam-meriam air anti kerusuhan, untuk menghemat amunisi dan menjaga jalanan tetap bersih. Mulanya itu ide bagus, sampai semua hidran mulai kehilangan tekanan. Komandan kami sudah tewas dua hari sebelumnya, karena kecelakaan aneh. Salah satu prajurit menembak kepala zombie yang menindihnya. Peluru itu menembus kepala si zombie, membawa sedikit partikel otak, lantas menancap di pundak si komandan. Gila, ya? Dia menyerahkan wewenang komando padaku, dan tugas resmi pertamaku adalah membunuhnya. Aku mengubah Hotel Renaissance menjadi pusat komando pasukanku. Lokasinya bagus untuk bertempur, dengan tempat yang cukup luas untuk tempat tinggal prajurit serta beberapa ratus pengungsi. Anak-anak buahku yang sedang tidak mempertahankan barikade mencoba melakukan hal yang sama pada beberapa bangunan di sekitarnya. Jalan-jalan diblokade dan kereta api tak beroperasi, jadi kupikir lebih baik melindungi sebanyak mungkin orang sipil. Pertolongan akan datang, hanya masalah waktu. Aku baru akan mengorganisir rincian rencana untuk mengumpulkan senjata pertarungan satu lawan satu karena kami kehabisan amunisi, ketika mendadak datang perintah untuk mundur. Itu bukan hal yang aneh. Unit kami memang secara teratur bergerak mundur sejak hari pertama Kepanikan Besar. Yang tidak biasa adalah titik keberangkatannya. Divisi kami untuk pertama kalinya diberi koordinat peta, padahal sebelumnya, kami cukup diberi arahan biasa lewat saluran terbuka agar masyarakat sipil bisa tahu dimana harus berkumpul. Sekarang, yang kami peroleh adalah transmisi berkode dari sistem pemetaan yang tak pernah digunakan lagi sejak Perang Dingin. Aku sampai harus mengeceknya tiga kali untuk konfirmasi. Mereka menyuruh kami ke Schafstedt, di sebelah utara Kanal Nord-Ostsee. Sekalian saja ke Denmark! Kami juga diberi perintah tegas untuk tidak memindahkan orang-orang sipil. Kami bahkan tidak boleh memberitahu mereka soal keberangkatan kami! Tidak masuk akal. Mereka menarik kami ke Schleswig-Holstein dan meninggalkan para pengungsi? Kami harus berhenti dan kabur begitu saja? Pasti ada kesalahan. Aku meminta konfirmasi. Mereka bilang ya. Aku bertanya lagi. Mungkin petanya salah, atau kodenya yang keliru. Itu bukan pertama kalinya. Aku tiba-tiba saja sudah bicara dengan Jenderal Lang, komandan Front Utara. Bahkan di tengah-tengah kebisingan tembakan, aku bisa mendengar suaranya bergetar. Dia bilang perintah itu bukan kesalahan; bahwa aku harus menarik pasukan yang tersisa dari garnisun Hamburg dan langsung pergi ke Utara. Ini mustahil, kataku pada diri sendiri. Lucu, 'kan? Aku bisa dengan mudah menerima kenyataan bahwa mayat hidup bangkit untuk melahap seluruh dunia, tapi ini...ini perintah yang secara tidak langsung akan menyebabkan pembantaian masal. Jangan salah, aku prajurit yang baik, tapi aku dari Jerman Barat. Kau tahu bedanya, 'kan? di Jerman Timur, orang-orang diberitahu bahwa mereka tidak perlu merasa bertanggungjawab terhadap kengerian masa Perang Dunia Kedua, karena sebagai komunis yang baik, mereka juga sama-sama korban seperti Hitler. Kau tahu kenapa para skinhead dan kaum proto-fasis berkumpul di Jerman Timur? Karena mereka tidak terbebani rasa bersalah dari masa lalu, tidak seperti kami di Jerman Barat. Sejak lahir, kami sudah dididik untuk menanggung beban rasa malu kakek dan nenek kami. Kami diajari bahwa, walaupun memakai seragam, tanggung jawab utama kami adalah terhadap hati nurani, apapun risikonya. Begitulah aku dibesarkan. Aku memberitahu Lang bahwa tidak mungkin aku mengikuti perintah itu; aku tak bisa meninggalkan semua orang tanpa perlindungan. Ketika mendengar jawabanku, dia mengamuk. Dia bilang aku harus mengikuti perintah tersebut, atau aku dan anak buahku akan diadili karena "pengkhianatan," dan dijatuhi hukuman dengan "efisiensi ala Rusia." Jadi, beginilah kita akhirnya, pikirku. Kami sudah dengar apa yang terjadi di Rusia...pemberontakan, penangkapan, desimasi. Aku memandang ke sekelilingku, semua pemuda umur delapan belas, sembilan belas tahun itu. Semuanya sudah lelah dan takut berperang untuk melindungi nyawa mereka sendiri. Aku tak bisa menahan mereka di sana. Aku mengeluarkan perintah untuk mundur. Bagaimana mereka menerimanya? Tidak ada keluhan, setidaknya tidak padaku. Mereka bertengkar sedikit, tapi aku pura-pura tak melihat. Mereka toh sudah melakukan tugas masing-masing. Bagaimana dengan penduduk sipil? (Diam sejenak). Kami mendapat reaksi yang sepantasnya. "Kalian mau ke mana?" Mereka berteriak dari jendela-jendela gedung. "Kembali, pengecut!" Aku mencoba menjawab, "Kami akan kembali untuk menolong kalian. Kami akan datang besok dengan lebih banyak tentara. Tetap di tempat kalian, kami akan kembali." Tapi mereka tidak percaya padaku. "Bajingan pembohong!" Aku mendengar seorang wanita berteriak. "Kau membiarkan bayiku mati!" Kebanyakan orang-orang itu tidak mengikuti kami. Mereka masih takut pada zombie-zombie di jalan. Beberapa yang pemberani bergelantungan di kendaraan pengangkut personel kami, mencoba memaksa masuk. Kami mendorong mereka sampai jatuh. Kami harus mengamankan diri sendiri karena semua orang di gedung mulai melemparkan segala macam benda, lampu, perabot, ke arah kami. Salah satu anak buahku dihantam ember berisi tinja. Aku bahkan mendengar peluru memantul di bodi Marder-ku. Ketika iring-iringan kami keluar dari kota, kami melewati sisa-sisa Unit Reaksi dan Stabilisasi Cepat. Mereka diserang habis-haisan minggu lalu. Waktu itu aku belum tahu, tapi itu salah satu unit yang dikelompokkan ke dalam kategori yang "bisa dibuang." Mereka bertugas melindungi pasukan yang bergerak mundur, serta mencegah agar zombie dan penduduk sipil tidak mengikuti kami. Intinya, mereka diperintahkan untuk menjaga garis pertahanan terakhir. Komandan mereka berdiri menatap kami lewat lubang di atas tank Leopard-nya. Aku kenal dia. Kami sama-sama bertugas dalam IFOR* NATO di Bosnia. Kedengarannya mungkin melodramatis kalau kubilang aku berhutang nyawa padanya, tapi dia memang melindungiku dari tembakan seorang tentara Serbia. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah ketika di terbaring di rumah sakit di Sarajevo, bercanda soal ingin cepat-cepat keluar dari negara yang lebih mirip lubang neraka itu. Sekarang di sinilah kami, melewati jalan tol yang hancur di tanah air kami. Kami saling menatap, lantas memberi hormat. Aku masuk kembali ke kendaraanku, berpura-pura memelajari peta supaya si pengemudi tidak melihat air mataku. "Kalau kita kembali," gumamku, "akan kubunuh bajingan itu." Maksudmu Jenderal Lang. Aku sudah merencanakan semuanya, Aku tidak akan marah atau membuatnya kuatir. Aku akan menyerahkan laporanku dan minta maaf atas tindakanku. Mungkin dia akan menasihatiku, mencoba memberi alasan bagus mengapa kami harus mundur. Bagus, pikirku. Aku akan mendengarkan, supaya dia tidak curiga. Kelak, ketika dia berdiri dan menjabat tanganku, aku akan mencabut pistolku dan meledakkan otak Jerman Timurnya sampai memercik ke atas peta yang menggambarkan sisa-sisa tanah air kami. Mungkin para stafnya juga ada di sana, para pelawak yang "hanya mengikuti perintah." Akan kubunuh mereka sebelum mereka menangkapku! Sempurna. Aku tidak akan sekadar melenggang ke neraka seperti bocah Hitler Jugend.** Akan kutunjukkan padanya, dan semua orang, apa artinya menjadi prajurit Jerman sejati. Tapi bukan itu yang terjadi. Bukan. Aku memang masuk ke kantor Jenderal Lang. Pasukanku adalah yang terakhir datang, jadi dia sudah menungguku. Setelah menerima laporan, dia duduk di kursinya, menandatangani beberapa surat perintah, menyegel dan mengirim surat untuk keluarganya, kemudian menembak kepalanya sendiri. Bangsat. Sekarang aku lebih membencinya daripada ketika kami ada di jalanan Hamburg. Kenapa begitu? Karena kami akhirnya mengetahui mengapa dia melakukannya. Itu adalah bagian dari Rencana Prochnow.*** Apakah informasi ini membuatmu lebih simpatik padanya? Kau bercanda? Itulah mengapa aku semakin membencinya! Dia tahu itu semua adalah bagian dari rencana perang yang panjang, dan kami akan membutuhkan orang seperti dirinya untuk menang. Pengecut sialan. Ingatkah kau apa yang kukatakan soal berpegang pada hati nurani? Kau tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, tidak si pembuat rencana atau komandanmu, melainkan dirimu sendiri. Kau harus membuat keputusan sendiri dan hidup sambil menanggung beban konsekuensi keputusan itu, selamanya. Dia tahu itu. Itulah sebabnya dia mengabaikan kami seperti halnya kami mengabaikan penduduk sipil. Dia sudah melihat jalan terjal dan berbahaya di depan. Kami semua harus mendaki jalan itu sambil menyeret beban berat di belakang kami. Tapi dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak sanggup menahan bebannya sendiri. Baca bagian selanjutnya di sini. *IFOR: Implementation Force, pasukan perdamaian internasional bentukan NATO. **Hitler Youth: organisasi pemuda dalam Partai Nazi yang beranggotakan pemuda usia 14 hingga 18 tahun. ***Versi Jerman dari Rencana Redeker (baca bagian sebelumnya).
Pulau Robben, Provinsi Cape Town, Negara Serikat Afrika Selatan
(Xolelawa Azania menyambutku dari balik meja kerjanya dan menyuruhku duduk di kursinya, supaya aku bisa menikmati udara laut yang sejuk dari jendela. Dia minta maaf karena mejanya "berantakan" dan berkeras membereskan lembar-lembar catatan dari atas meja sebelum kami melanjutkan obrolan. Tuan Azania baru merampungkan setengah dari volume ketiga buku Rainbow Fist: South Africa at War. Buku itu kebetulan membahas tentang hal yang kami diskusikan hari itu: tentang titik balik dalam perang melawan zombie, dan masa-masa ketika negara ini perlahan mulai menarik dirinya dari kegelapan.) "Dingin" terdengar terlalu biasa untuk menggambarkan salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah modern. Beberapa menganggapnya penyelamat, yang lain menyebutnya monster. Tapi kalau kau pernah bertemu Paul Redeker, mengajaknya berdiskusi soal pandangannya terhadap dunia dan permasalahannya, atau tentang masalah wabah besar-besaran yang berlangsung di seluruh dunia, mungkin satu kata yang akan segera terlintas di benakmu adalah "dingin." Paul selalu percaya--yah, tidak selalu, tapi sepanjang kehidupan dewasanya--bahwa salah satu kelemahan terbesar umat manusia adalah emosi. Dia selalu berkata bahwa apa yang ada dalam dada kita hanya berfungsi untuk memompa darah; yang lainnya hanya buang-buang waktu dan tenaga. Makalah-makalahnya saat kuliah, yang semuanya membahas solusi "alternatif" untuk berbagai dilema sosial dalam sejarah, membuatnya mendapat perhatian dari pemerintah apartheid. Banyak penulis biografi mengecapnya sebagai rasis, tapi Redeker sendiri pernah bilang kalau "rasisme adalah produk sampingan yang tak diharapkan dari emosi irasional." Ada juga yang bilang bahwa jika Redeker rasis terhadap satu kelompok, dia pasti mencintai kelompok lainnya. Tapi Redeker percaya bahwa cinta dan benci tidak penting. Baginya, keduanya hanyalah hambatan bagi manusia. "Bayangkan apa yang dapat dicapai umat manusia jika mereka menyingkirkan sifat kemanusiaan," begitu katanya. Jahat? Kebanyakan orang bilang begitu, tapi yang lain, terutama kelompok kecil di pusat pemerintahan di Pretoria, bilang bahwa dia adalah sumber luar biasa bagi intelektualitas yang terbebaskan. Saat itu awal tahun 1980-an, masa-masa genting bagi pemerintahan apartheid. Seluruh negeri seolah sedang tidur di permukaan ranjang paku. Ada ANC, ada Partai Kemerdekaan Inkatha, bahkan ada kelompok ekstremis sayap kanan dari populasi kulit hitam yang sangat menginginkan adanya pemberontakan terbuka untuk memulai pertarungan besar-besaran antar ras. Perbatasan Afrika Selatan menghadapi bahaya dari negara-negara tetangga yang bermusuhan, dan dalam kasus Angola, ancaman perang sipil yang disokong Soviet dan Kuba. Tambahkan isolasi yang semakin besar dari negara-negara demokrasi Barat (termasuk embargo senjata), dan tidak mengherankan jika Pretoria selalu memikirkan solusi terakhir. Itulah sebabnya pemerintah merekrut Redeker untuk merevisi rencana rahasia yang disebut Rencana Jingga (Orange Plan). Itu sudah ada sejak pemerintahan apartheid pertama berdiri pada tahun 1948. Itu seperti rencana pertahanan diri bagi minoritas kulit putih seandainya penduduk asli memutuskan untuk melakukan pemberontakan besar-besaran. Setiap tahun, rencana itu selalu diperbarui berdasarkan perubahan strategis di negara ini. Situasinya semakin lama semakin suram. Kemerdekaan beruntun negara-negara tetangga serta tuntutan merdeka yang semakin besar, mereka yang di Pretoria sadar bahwa konfrontasi besar-besaran bukan saja akan menjadi akhir pemerintahan Afrikaner, tapi juga masyarakatnya. Saat itulah Redeker menunjukkan perannya. Dia merevisi Rencana Jingga, dan menyelesaikannya pada tahun 1984. Itu adalah strategi bertahan hidup untuk kaum Afrikaner. Tidak ada variabel yang diabaikan; gambaran populasi, bentang alam, geografi, sumber daya alam, faktor logistik... Redeker tidak hanya memperbarui rencana ini untuk mengikutsertakan ancaman senjata kimia dari Kuba serta kekuatan nuklir negaranya sendiri, tapi juga--ini yang membuat Rencana Jingga 48 terkenal dalam sejarah--keputusan soal warga Afrikaner mana yang akan diselamatkan dan mana yang dikorbankan. Dikorbankan? Menurut Redeker, upaya melindungi semua orang akan memakan sumber daya pemerintah sampai ke titik maksimum, dan malah akan menghancurkan seluruh populasi. Dia membandingkannya dengan penumpang kapal tenggelam yang berdesakan di atas perahu penyelamat yang kemudian terbalik, karena tidak ada ruang untuk mereka semua. Redekar bahkan bertindak lebih jauh dengan memperkirakan siapa yang harus diselamatkan. Dia menimbang faktor-faktor seperti jumlah penghasilan, tingkat kecerdasan, kesuburan, pokoknya semua yang ada dalam daftar "kualitas yang dibutuhkan." Itu termasuk lokasi subyek terhadap zona krisis potensial. Kalimat penutup proposalnya adalah: "sentimentalisme kita adalah hal pertama yang harus disingkirkan dalam menghadapi konflik, karena itu akan menghancurkan kita semua." Rencana Jingga 48 sangat cemerlang. Isinya jelas, logis, efisien, dan membuat Redeker menjadi orang paling dibenci di Afrika Selatan. Musuh pertamanya adalah kaum Afrikaner radikal dan fundamentalis, para penganut ideologi rasial dan kaum ultra-religius. Lalu, setelah kejatuhan pemerintahan apartheid, namanya mulai dikenal masyarakat luas. Dia pun dipanggil ke sidang Truth and Reconciliation*, namun dia menolak. "Aku tak akan berpura-pura masih punya hati nurani hanya untuk menyelamatkan diri sendiri," katanya di depan publik. "Lagipula, apapun yang kulakukan, mereka pasti akan tetap mengejarku." Hal itu menjadi kenyataan, walau mungkin tidak dengan cara yang diduga Redeker. Saat itu adalah masa-masa Kepanikan Besar, yang dimulai beberapa tahun sebelum hal yang sama terjadi di negaramu. Redeker sedang di kabinnya di Drakensberg, yang dia beli dengan penghasilan sebagai konsultan bisnis. Dia suka bisnis, kau tahu. "Satu tujuan, tanpa jiwa," begitulah motonya. Dia tidak kaget sama sekali ketika pintunya mendadak didobrak, dan agen-agen dari Badan Inteligen Nasional merangsek masuk. Mereka memastikan nama, identitas, dan karirnya di masa lalu. Mereka tanpa basa-basi bertanya apakah dia yang membuat Rencana Jingga 48. Dia menjawab ya, dengan datar, tanpa emosi. Dia menduga kalau ini adalah semacam balas dendam; dunia toh sudah berubah menjadi neraka, jadi kenapa tidak mengincar "setan-setan apartheid" dulu? Dia tidak menduga yang terjadi selanjutnya: para agen itu menurunkan moncong senjata mereka, lalu membuka topeng gas masing-masing. Wajah-wajah yang dilihatnya beraneka warna: orang kulit hitam, Asia, kulit cokelat, dan bahkan seorang pria kulit putih tinggi besar, orang Afrikaner yang langsung maju dan tanpa basa-basi bertanya, "kau punya rencana untuk mengatasi semua ini, 'kan?" Redeker saat itu memang sedang membuat rencananya sendiri untuk menghadapi epidemi zombie. Memang apa lagi yang bisa dilakukannya di kabin terpencil itu? Rencana itu hanya sebuah latihan intelektual; dia tidak mengharapkan siapapun membacanya. Dia juga tidak menamai rencana itu, karena menurutnya, "nama hanya ada untuk memisahkan satu hal dari lainnya," dan saat itu, tidak ada hal lain yang menyerupai apa yang sedang dibuatnya. Sekali lagi, Redeker memperhitungkan semua hal; bukan hanya kondisi strategis negara, tetapi bahkan aspek-aspek seperti perilaku, psikologi, dan "doktrin perang" para zombie. Kau bisa mencaritahu soal Rencana Redeker di berbagai perpustakaan umum, tapi inilah isinya secara garis besar. Pertama, menyelamatkan semua orang itu mustahil. Wabah sudah terlalu lama menyebar. Angkatan bersenjata sudah terlalu lemah untuk mengisolasi ancaman itu secara efektif, dan karena mereka diturunkan di wilayah yang luas, mereka semakin melemah hari demi hari. Pasukan bersenjata kami harus ditarik ke "zona aman," yang diharapkan dapat diperkuat oleh kondisi alam seperti pegunungan, sungai, dan garis pantai. Ketika sudah dikumpulkan di balik garis zona aman tersebut, pasukan dapat dengan mudah melenyapkan ancaman di perbatasan, sebelum menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mempertahankan wilayah itu dari serangan lebih lanjut. Itu rencana pertama, dan masuk akal, sama seperti taktik penarikan pasukan bersenjata konvensional. Bagian kedua berkaitan dengan rencana penyelamatan masyarakat sipil, dan rencana macam ini tidak akan bisa dibuat orang lain selain Redeker. Menurutnya, hanya sebagian kecil masyarakat sipil yang bisa dievakuasi ke zona aman. Tujuannya bukan hanya untuk menyediakan tenaga kerja dalam masa restorasi ekonomi setelah perang, tetapi juga menjaga stabilitas pemerintahan, untuk membuktikan pada mereka di zona aman bahwa pemerintah selalu memerhatikan mereka. Ada alasan lain di balik evakuasi tebang pilih ini, alasan yang sudah pasti akan menghadiahi Redeker tempat tertinggi di singgasana neraka. Mereka yang tidak diselamatkan akan digiring ke zona-zona isolasi. Mereka dijadikan umpan manusia untuk mencegah zombie mengikuti para prajurit yang sedang mundur ke zona aman. Menurut Redeker, orang-orang ini harus dijaga agar tetap hidup, dipersenjatai, dan bahkan terus diberi pasokan untuk bertahan hidup, sehingga paa zombie juga tidak akan kemana-mana. Apakah kau lihat betapa cerdas dan gila rencana itu? Membuat orang-orang menjadi tahanan karena "setiap zombie yang mengepung mereka bermakna kurang satu zombie yang mengancam pertahanan kita." Setelah mendengar penjelasan tentang rencana itu, si agen kulit putih membuat tanda salib, dan berkata "Tuhan mengampunimu, sobat." Yang lainnya menimpali "Tuhan menolong kita semua," dan kemudian, "bawa dia pergi." Hanya dalam beberapa menit, mereka sudah ada di helikopter menuju Kimberley, tempat dimana Redeker dulu pertama merancang Rencana Jingga 48. Dia langsung digiring ke pertemuan dengan kabinet darurat presiden, dan laporannya dibacakan keras-keras di depan mereka. Kau harus dengar kehebohannya, walau tak ada yang suaranya sekeras si menteri pertahanan. Menteri ini orang Zulu, seorang pria ganas yang lebih suka bertarung di jalanan daripada meringkuk dalam bungker. Si wakil presiden lebih cemas soal pendapat publik. Dia tidak tahu bagaimana kelak nasibnya jika rencana ini sampai bocor ke telinga publik. Sang presiden sendiri kelihatan sangat tersinggung oleh rencana Redeker. Dia sampai mencengkeram kerah jas menteri keamanannya, berteriak, bertanya mengapa dia membawa si penjahat perang apartheid itu ke kabinet mereka. Si menteri dengan tergagap bilang dia tidak paham mengapa presiden begitu marah, padahal beliau sendiri yang memerintahkannya. Sang presiden berseru bahwa dia tidak pernah memberikan perintah seperti itu, ketika tiba-tiba, dari belakang ruangan itu, satu suara lembut berujar, "aku yang melakukannya." Pria itu sedari tadi duduk bersandar di tembok. Ketika dia berdiri, tubuhnya bungkuk karena usia dan harus disangga tongkat, namun energinya memancar kuat. Dialah si tetua negara, bapak demokrasi baru kami. Pria yang ketika lahir diberi nama Rolihlahla**, "Si Pembuat Onar." Ketika dia berdiri, semua orang langsung duduk, semua kecuali Paul Redeker. Pria tua itu menatapnya, lalu memberinya senyum hangat yang sudah sangat dikenal dunia, dan berkata, "Molo, mhlobo wam." Selamat datang, rekan segenaraku. Dia berjalan menghampiri Redeker, berputar menghadap para anggota kabinet, mengangkat lembar-lembar kertas yang tadinya dipegang Redeker, dan mendadak berujar dengan suara kuat, "ini akan menyelamatkan rakyat kita." Kemudian, dia menunjuk Redeker, dan berkata, "pria ini akan menyelamatkan kita." Kemudian, terjadilah hal itu. Sesuatu yang mungkin akan diperdebatkan para ahli sejarah sampai akhir zaman. Dia memeluk Redeker. Bagi orang lain, ini mungkin hanya pelukan khasnya yang biasa, tapi bagi Paul Redeker.... Aku tahu para penulis biografi kebanyakan mengecap Redeker sebagai seseorang tanpa jiwa. Semua orang beranggapan begitu. Paul Redeker: tak punya perasaan, kasih sayang, dan hati nurani. Tetapi, salah satu penulis ternama kami, teman lama sekaligus penulis biografi Biko***, berkata bahwa Redeker sebenarnya orang yang sangat sensitif, bahkan terlalu sensitif untuk ukuran orang yang hidup di masa apartheid di Afrika Selatan. Dia berkeras bahwa perjuangan seumur hidup Redeker untuk menghapus emosi sebenarnya hanya cara untuk melindungi kewarasannya dari kekerasan dan brutalitas yang dilihatnya setiap hari. Tak banyak yang diketahui soal masa kecil Redeker, apakah dia dibesarkan oleh orangtua atau negara, atau apakah dia pernah dicintai. Mereka yang pernah bekerja dengannya tak ingat kapan Redeker pernah menunjukkan interaksi sosial atau ekspresi kehangatan. Akan tetapi, pelukan dari bapak bangsa kami, emosi tulus yang menembus cangkang jiwanya itu... (Azania tersenyum agak malu). Mungkin ini kedengarannya terlalu sentimental. Sepanjang yang kita semua tahu, dia monster yang tak berhati, dan pelukan pria tua itu mungkin tak berakibat apapun. Tapi kuberitahu kau, itulah kali terakhir orang melihat Paul Redeker. Sampai sekarang, tak ada yang tahu dimana dia berada. Saat itulah aku mengajukan diri untuk menerapkan Rencana Redeker, di minggu-minggu pertama yang kacau balau. Sulit meyakinkan mereka, tapi aku bilang aku sudah bekerja lama bersama Redeker, dan akulah yang paling mengerti cara berpikirnya dibanding semua orang lain di Afrika Selatan, jadi mana mungkin mereka menolak? Aku mengurus penarikan pasukan, lalu bulan-bulan konsolidasi setelahnya, dan terus sampai perang zombie selesai. Paling tidak mereka menghargai usahaku; kenapa lagi coba mereka memberiku akomodasi mewah ini? (Tersenyum) Paul Redeker, malaikat dan iblis. Beberapa membencinya, yang lain memujanya. Aku? Aku hanya kasihan padanya. Kalau dia masih hidup entah di mana, kuharap dia menemukan kedamaian. (Setelah berpamitan dengan Azania, aku naik feri menuju daratan utama. Keamanan di tempat yang kudatangi sangat ketat. Aku mengambil kartu tanda masukku. Si penjaga, orang Afrikaner kulit putih tinggi besar, memotretku dua kali. "Harus selalu waspada di sini, sobat," ujarnya. "Banyak orang di luar sana yang mau membunuhnya." Aku membubuhkan tanda tanganku di sebelah namaku dalam daftar tamu, tepat di bawah tulisan Institusi Kejiwaan Pulau Robben. Nama pasien yang kukunjungi: Paul Redeker). Baca bagian selanjutnya di sini. *Truth and Reconciliation Commission: komisi pengadilan restoratif yang didirikan setelah kejatuhan pemerintahan apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1994, yang bertujuan mendengarkan kesaksian korban dan pelaku pelanggaran HAM selama masa apartheid, serta memberi keadilan bagi para korban. **Nama kecil Nelson Mandela. ***Steve Biko: aktivis anti apartheid di periode tahun 60-an dan 70-an.
Denver, Colorado, Amerika Serikat
(Kereta apiku terlambat dari jadwal. Jembatan tarik di wilayah barat rupanya sedang dites. Todd Wainio tidak keberatan menungguku di stasiun. Kami berjabat tangan di bawah Victory, mural besar di dinding stasiun, salah satu karya paling terkenal yang menggambarkan Amerika pada masa Perang Dunia Z. Terinspirasi dari sebuah foto terkenal, mural itu menggambarkan sekelompok prajurit berdiri di sisi New Jersey dari Sungai Hudson, dengan punggung menghadap ke arah kami saat mereka menyaksikan matahari terbenam di atas Manhattan. Todd nampak kurus dan rapuh di samping sosok-sosok dua dimensi tersebut. Layaknya pria-pria generasinya, dia nampak menua terlalu cepat. Dengan perutnya yang membuncit, rambutnya yang kelabu dan menipis, serta tiga garis bekas luka di pipi kanannya, sulit menduga bahwa mantan prajurit infantri Amerika ini baru berada di usia puncaknya.) Langit terlihat merah hari itu. Asap dimana-mana, memenuhi udara sepanjang musim panas, membuat segalanya berwarna kuning kemerahan, seolah kami memandang dunia dari balik lensa neraka. Itulah pertama kalinya aku melihat Yonkers, area kecil lusuh di sebelah utara New York. Aku tidak yakin orang-orang pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi sekarang, Yonkers dikenang seperti Pearl Harbor...bukan, bukan, Pearl Harbor itu serangan mendadak. Lebih seperti Little Bighorn, sebenarnya. Kami, atau setidaknya atasan kami, tahu apa yang akan terjadi. Intinya, yah, itu bukan serangan mendadak. Bukan keadaan darurat. Kami sudah siap perang, sejak tiga bulan sebelum panik besar-besaran terjadi. Kau mungkin masih ingat yang terjadi waktu itu. Semua orang menggila. Mereka membarikade rumah, menjarah makanan, senjata, menembak semua yang bergerak. Mungkin lebih banyak orang biasa yang mati daripada Zack (zombie), gara-gara para Rambo dadakan, tembakan nyasar, kecelakaan lalu lintas...pokoknya semua kegilaan itu yang sekarang kita sebut Kepanikan Besar. Aku paham kenapa orang-orang pemerintah berpikir perang besar-besaran adalah ide bagus. Mereka mau menunjukkan ke masyarakat bahwa mereka masih pegang kuasa; menenangkan semua orang sebelum mengurus masalah sebenarnya. Mereka butuh alat propaganda, jadi kami pun dikirim ke Yonkers. Sebenarnya itu bukan tempat yang buruk untuk dijadikan pusat pertahanan. Sebagian kota itu berada di lembah mungil, dan Sungai Hudson ada di sebelah barat bukit. Jalur tol Saw Mill River membentang tepat di tengah jalur pertahanan kami, dan para pengungsi yang melewati jalur itu akan membuat gerombolan zombie langsung mengarah ke kami, menjadikannya titik serangan yang ideal. Gagasan yang cemerlang...dan mungkin satu-satunya ide bagus di hari itu. (Todd merogoh sebatang "Q," rokok buatan tangan yang dinamai demikian karena kandungan tembakaunya hanya seperempat/a quarter.) Kenapa mereka tidak menempatkan kami di atap-atap gedung? Di sana ada pusat perbelanjaan, beberapa garasi, bangunan-bangunan besar dengan atap datar yang bagus. Mereka bisa tempatkan seluruh pasukan di atas mall A&P. Kami bisa melihat seluruh lembah, dan kami jelas akan lebih aman. Aku ingat ada gedung apartemen, tingginya sekitar dua puluh lantai. Setiap lantai pasti punya jarak pandang luas ke arah lembah. Kenapa tidak ada penembak jitu di sana? Tahukah kau dimana mereka menempatkan kami? Di atas tanah, di belakang karung-karung pasir. Kami menghabiskan banyak waktu dan tenaga menyusun berbagai posisi menembak yang rumit. "Untuk perlindungan dan penyamaran," mereka bilang. Apanya. Perlindungan di sini berarti perlindungan fisik konvensional, dirancang untuk menghadapi pasukan kecil, artileri, hingga serangan udara. Coba, apa itu kedengarannya seperti zombie? Memangnya zombie bisa melancarkan serangan udara dan menembakkan senapan? Dan mengapa harus repot memikirkan soal penyamaran kalau tujuannya dari awal adalah memancing zombie ke arah kami? Semuanya terbolak-balik! Aku yakin yang bertanggung jawab untuk operasi itu adalah kunyuk sombong yang dulu pernah latihan bertahun-tahun untuk dicemplungkan ke Jerman Barat. Bajingan kolot yang mungkin sudah muak setelah bertahun-tahun hanya terlibat dalam konflik kecil. Ya, pasti. Semua perintahnya berbau pertahanan zaman Perang Dingin. Mereka bahkan mau menggali lubang untuk tank, kau tahu? Para insinyur meledakkan lapangan parkir A&P untuk membuat lubang-lubang itu. Kalian punya tank? Bung, kami punya semua: tank, Bradley, Humvee, semua dilengkapi senjata mulai dari kaliber lima puluh sampai mortar Vasilek baru. Okelah, itu lumayan berguna. Kami punya Avenger Humvee yang dimuati rudal udara Stinger, kami punya sistem jembatan portabel APLB, cocok untuk menyeberangi parit sedalam tiga inci yang membentang sepanjang jalan tol. Kami punya setumpuk mesin perang XM5, lengkap dengan radar dan alat pengacau sinyal, dan...dan...oh ya, kami juga punya kloset FOL, Family of Latrines, dijejerkan begitu saja di tengah-tengah semuanya. Padahal air di daerah itu masih mengalir, dan kloset di setiap bangunan di tempat itu masih berfungsi. Banyak sekali yang mubazir! Semua barang itu hanya pajangan mengganggu. Kupikir itulah fungsi mereka sebenarnya. Sebagai pajangan. Untuk media. Oh, jelas, ada dua atau tiga reporter membuntuti setiap prajurit! Mereka jalan kaki, naik mobil...aku sudah tak bisa menghitung berapa banyak helikopter berita yang terbang di atas kami... Padahal dengan helikopter sebanyak itu, mereka mungkin bisa pakai beberapa untuk selamatkan penduduk Manhattan. Ya. Kami pamer untuk pers. Coba lihat semua mesin perang hijau kami! Cokelat, sebenarnya. Banyak dari mereka yang dulu dipakai dalam misi gurun, dan belum sempat dicat ulang. Bukan hanya senjata yang dipamerkan, tapi kami juga. Bayangkan, bung, mereka suruh kami berpose dengan MOPP 4, baju perlindungan super berat dan topeng gas untuk melindungi dari efek radioaktif atau senjata biokimia. Apakah atasanmu percaya kalu virusnya bisa menyebar lewat udara? Kalau itu benar, mengapa para reporter tidak diberi perlindungan? Mengapa para atasan kami tidak mengenakannya? Mereka semua memakai seragam biasa yang nyaman, sementara kami semua keringatan di bawah berlapis-lapis karet, arang, dan baju perlindungan berat. Orang jenius macam apa yang menyuruh kami pakai begituan? Apa karena wartawan memarahi mereka habis-habisan karena kurang berusaha dalam perang terakhir? Memangnya siapa yang perlu helm kalau kau harus melawan mayat hidup? Mereka itu yang perlu helm, bukan kami! Ada juga Net Rigs, sistem integrasi pertempuran Land Warrior. Itu semacam baju komunikasi elektronik yang menghubungkan kami dengan satu sama lain dan juga atasan kami. Kau bisa mengunduh peta, data GPS, dan data satelit terbaru lewat alat di matamu. Kau bisa mengetahui posisimu, posisi temanmu dan musuhmu di medan perang...kau bahkan bisa melihat lewat video kamera yang dipasang di moncong senjatamu, untuk melihat apa yang ada di balik semak-semak ata sudut tak terlihat dengan lebih baik. Land Warrior membuat setiap prajurit bisa mendapat informasi dari semua pusat komando, dan pusat komando juga mampu mengendalikan mereka sebagai satu kesatuan. "Netrosentris," begitulah kata atasanku di depan pers. "Netrosentis" dan "hyperwar." Kedengarannya keren, tapi semuanya jadi omong-kosong ketika kau repot berjuang menggali lubang pertahanan sambil memakai MOPP, baju pelindung dan Land Warrior, ditambah lagi dengan bawaan standar kami. Semuanya dilakukan di hari tergerah di musim terpanas yang pernah dicatat! Aku sendiri heran kenapa aku masih sanggup berdiri ketika para Zack mulai muncul. Mulanya cuma sedikit; satu-dua zombie melangkah tersaruk-saruk di sela-sela mobil-mobil yang ditinggalkan di tengah jalan tol. Tapi paling tidak semua orang sudah dievakuasi. Mereka bertindak benar untuk yang satu itu; memilih lokasi bertempur yang tepat dan mengevakuasi semua orang. Tapi yang lainnya.... Para Zack mulai memasuki zona tembak pertama, yang dijadikan sasaran roket MLRS. Aku tidak dengar suaranya; pelindung kepalaku menghalanginya. Tapi aku bisa melihat roket itu meluncur ke sasaran, menukik, dan selongsongnya pecah lalu menyemburkan bom-bom kecil. Ukuran mereka sebesar granat tangan; senjata antipersonel yang lumayan bisa merusak kendaraan lapis baja. Setelah berhamburan di sekitar zombie dan mobil-mobil di jalan, mereka langsung meledak. Tangki bensin mobil ikut meledak seperti gunung berapi kecil, menimbulkan hujan api dan serpihan besi. Jujur saja, pemandangan itu bikin kami semangat, semua orang bersorak-sorai lewat mik ketika melihat zombie-zombie berjatuhan. Ada sekitar tiga puluh, empat puluh, atau lima puluh zombie yang hancur di sepanjang setengah mil jalan tol itu. Serbuan awal itu membunuh sekitar tiga-perempat dari mereka. Hanya tiga-perempat? (Todd menghisap sisa rokoknya dan menghembuskan asapnya dengan marah. Tangannya segera meraih sebatang lagi.) Ya, dan kami seharusnya kuatir. 'Hujan besi' itu menghantam setiap zombie, mencabik jeroan mereka. Otot dan daging dan organ tubuh berjatuhan dari badan mereka ke jalan, dan mereka masih berjalan mendekati kami. Tembakan di kepala...kami harus menghancurkan otak mereka, bukan badan. Selama mereka masih punya otak dan bisa bergerak maju...beberapa masih berjalan, yang lainnya merangkak karena sudah tak bisa berdiri. Kami harusnya khawatir, tapi kami sudah tak punya waktu. Lama-lama para zombie itu jadi banyak. Lusinan berjejal-jejal di antara puing-puing mobil. Lucu juga, kalau dipikir-pikir. Kau selalu mengira kalau zombie akan menyerang memakai pakaian hari Minggu terbaik mereka. Begitulah media memberitakan mereka, terutama di awal-awal wabah. Zombie menyerang memakai jas dan gaun, pokoknya seperti banyak orang di Amerika, tapi sudah mati. Zombie yang kami lihat sama sekali tidak seperti itu. Kebanyakan yang terinfeksi pertama kali biasanya mati ketika dirawat di rumah sakit. Banyak yang masih pakai baju rumah sakit, piyama atau baju tidur. Beberapa bahkan cuma pakai baju dalam...atau malah telanjang. Kau bisa lihat luka-luka mereka, bekas luka kering, dan lubang-lubang di tubuh yang membuatmu merinding bahkan di balik baju pelindung yang panas. 'Hujan besi' kedua efeknya tidak sehebat yang pertama. Sudah tidak ada lagi mobil dengan tangki bensin utuh yang bisa dimanfaatkan, dan kerumunan zombie yang semakin padat seolah saling melindungi dari tembakan di kepala. Aku tidak takut. Belum. Aku yakin mereka akan bisa dibunuh begitu memasuki zona pertempuran kami. Aku tidak dengar ketika roket Paladin diluncurkan, letaknya terlalu jauh di atas bukit, tapi aku melihatnya menghantam sasaran. Roket-roket itu memakai HE 155 sebagai intinya; bahan peledak standar dengan serpihan-serpihan kecil di dalamnya. Tapi mereka bahkan tidak menghancurkan seefektif roket yang pertama. Kenapa begitu? Tidak ada efek balon. Begini, ketika ada bom meledak di dekatmu, seluruh cairan tubuhmu ikut meletus, seperti balon. Zombie tidak mengalami itu, mungkin karena cairan tubuhnya lebih sedikit dan lebih mirip gel. Entahlah. Pokoknya efek balon tidak mempan, begitu juga dengan SNT. Apa itu SNT? Sudden Nerve Trauma. Trauma Syaraf Seketika. Itu efek lain yang terjadi ketika ada bom meledak dari jarak dekat. Traumanya begitu hebat sampai-sampai organ-organ tubuh dan otakmu berhenti bekerja, begitu saja, seolah Tuhan mematikan saklarmu. Pokoknya karena semacam impuls elektronik atau apalah. Aku tidak tahu. Aku bukan dokter. Dan itu tidak terjadi. Tidak sama sekali! Jangan salah paham, itu bukan berarti zombie-zombie tidak babak belur. Kami melihat tubuh-tubuh meledak, terlempar ke udara, terkoyak-koyak. Kepala utuh dengan rahang dan mata masih bergerak-gerak terlontar ke udara seperti gabus penutup botol sampanye Cristal. Kami membabat mereka, tapi tidak secepat yang kami butuhkan! Aliran zombie semakin deras; barisan sosok-sosok yang berjalan, mengerang, menginjak-injak teman-teman mereka, bergerak lambat tapi pasti ke arah kami. Zombie mulai memasuki zona tembak kedua, dan seketika menjadi sasaran langsung senjata-senjata berat, tank dan Bradley dengan senapan mesin dan misil FOTT. Mobil-mobil Humvee mulai meluncurkan mortar, misil, dan mengeluarkan Mark 19. Itu seperti senapan mesin, tapi menembakkan granat. Beberapa helikopter Comanche berdengung di atas seolah cuma beberapa inci dari kepala kami, meluncurkan Hellfire dan roket Hydra. Suasananya seperti di dalam mesin pembuat sosis atau penghancur kayu. Serpih-serpih organik dari tubuh-tubuh zombie beterbangan seperti serbuk gergaji. Tak akan ada yang selamat dari ini, begitu pikirku. Kelihatannya memang begitu, sampai semua serangan akhirnya berhenti. Berhenti? Ya, berhenti. (Todd terdiam sesaat, dan kemudian, matanya menyorot penuh kemarahan.) Tak ada seorangpun yang menduga itu! Jangan kasih aku alasan pemotongan anggaran atau kekurangan pasokan atau semacamnya! Kalau ada yang pasokannya kurang, itu adalah akal sehat! Tak ada seorangpun di antara bajingan bintang empat lulusan West Point itu yang tanya: "Hei, kita punya banyak senjata keren, tapi apa amunisinya cukup?" Tidak ada yang memikirkan soal berapa banyak amunisi yang dibutuhkan artileri untuk operasi berkelanjutan, atau berapa banyak roket tersedia untuk tank... Tank-tank kami menembakkan bola-bola tungsten kecil. Itu pemborosan, sebenarnya, seratusan bola tungsten hanya untuk menghabisi satu zombie. Tapi setidaknya berguna! Setiap tank Abrams kami cuma punya tiga roket! Tiga, padahal muatannya empat puluh! Kau tahu Peluru Perak? Roket uranium yang bisa menembus kendaraan lapis baja? Mereka tak ada gunanya melawan zombie! Tahu tidak bagaimana rasanya melihat tank seberat enam puluh ton menembakkan roket canggih ke tengah kerumumam zombie, namun tanpa hasil? Bagaimana dengan flechette? Di mana mereka? Itu senjata yang sering disebut-sebut belakangan ini; semacam proyektil logam yang bisa meledak dan menjadi senjata serpih. Semua orang pikir itu penemuan baru, padahal sebenarnya kami sudah punya itu dari zaman Perang Korea. Itu bisa dipasang di roket Hydra atau Mark 19. Coba bayangkan kalau satu M 19 menembakkan 350 ronde per menit, dan satu ronde menembakkan 100 proyektil logam. Mungkin itu bisa mengubah keadaan, tapi...sialan! Amunisi kami habis, dan zombie terus berdatangan. Kami bisa merasakan ketakutan mengapung di udara, di dalam suara pemimpin skuadron, di antara para prajurit...kau tahu, seperti ada suara yang bergaung di kepalamu, yang terus-menerus bilang oh, sialan, sialan, sialan. Padahal kami para prajurit sebenarnya cuma pertahanan terakhir. Tugas kami hanya membereskan sisa-sisa zombie yang mungkin masih belum hancur oleh senjata-senjata berat. Mungkin hanya satu dari tiga di antara kami yang akan menembakkan senjata. Ribuan zombie berdatangan ke arah kami, membanjir melewati jalan tol, pagar pembatas, di antara bangunan-bangunan. Mereka banyak sekali, dan erangan mereka menembus pelindung kepala kami. Kami melepas pengaman, mengunci target, dan perintah menembak datang. Aku memegang SAW, senapan mesin ringan yang menembak dalam rentetan panjang terkontrol. Tapi tembakanku yang pertama terlalu rendah. Peluruku menghantam satu zombie di dada. Aku melihatnya terpelanting menghantam aspal, lalu bangkit lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Ya ampun, bung, kalau kau melihatnya... (Rokok Todd membakar jarinya, tapi Todd menjatuhkan dan menginjaknya tanpa menoleh.) Aku berusaha keras mengendalikan bidikanku. Pikiranku juga. "Bidik saja kepalanya," ujarku pada diriku terus-menerus. "Jangan pikir macam-macam, kendalikan saja dirimu dan bidik kepalanya." Senapanku memberondong mereka, suaranya seolah berteriak berulang-ulang mati, bajingan, mati. Kami harusnya bisa mengentikan mereka; maksudku, hanya itu yang kau butuhkan, 'kan? Prajurit dengan senapan. Prajurit profesional, penembak terlatih. "Jadi kenapa mereka mereka masih bisa tembus?" Itulah yang ditanyakan para kritikus dan atasan kami yang tak ada di sana, sampai sekarang. Pikirmu semudah itu? Pikirmu setelah berlatih menembak sasaran sepanjang karir militer kami, kami tak pernah meleset? Apa kau kira mudah mengganti magasin atau mengokang senapan dalam baju pelindung yang mencekik itu? Pikirmu setelah melihat semua senjata canggih itu gagal bekerja, dan setelah melihat Kepanikan Besar serta semua realita yang kau pahami habis dilahap oleh musuh-musuh yang seharusnya tak ada di sana, kau bisa tetap berkepala dingin dan menembak dengan mantap? (Todd menikamkan jari telunjuknya ke arahku.) Ya! Kami masih berhasil melakukan tugas kami dan memberi para Zack balasan setimpal! Mungkin kalau kami punya lebih banyak prajurit, lebih banyak amunisi, lebih banyak fokus untuk melakukan tugas kami.... (Jari-jemarinya membentuk kepalan tinju.) Land Warrior. Itulah sebabnya. Land Warrior sialan yang mahal dan canggih itu. Sudah cukup buruk melihat apa yang ada di depanmu, tapi informasi yang dideteksi dari atas juga menunjukkan betapa besarnya gerombolan yang kami hadapi. Kami mungkin menghadapi ribuan zombie, tapi ada jutaan lagi di belakang mereka. Ingat, kami saat itu menghadapi gerombolan dari seluruh New York! Tapi mereka seperti kepala ular yang badannya sangat panjang, membentang sampai ke Times Square! Kami tidak perlu melihat itu! Aku tak perlu melihat itu! Suara ketakutan kecil dalam kepala kami pun tak lagi kecil. Oh sialan, sialan, sialan. Dan tiba-tiba, suara-suara itu tak lagi ada di dalam kepalaku. Aku mulai mendengarnya juga di telingaku. Setiap kali ada temanku yang tak bisa tutup mulut, Land Warrior membuat kami semua ikut mendengar suaranya. "Mereka terlalu banyak!" Atau "Kita harus pergi dari sini!" Ada seseorang dari peleton lain, aku tidak tahu namanya, menjerit, "Aku tembak dia di kepala tapi dia tidak mati! Mereka tidak mati kalau ditembak di kepala!" Aku yakin dia pasti meleset, tembakannya tidak kena otak. Mungkin hanya menggores bagian dalam tengkorak sedikit. Itu sering terjadi. Mungkin kalau dia tenang dan pakai otak sedikit, dia akan menyadarinya. Rasa takut menular lebih cepat daripada virus zombie, dan Land Warrior yang canggih itu membuatnya semakin parah. "Apa?" "Mereka tidak mati?" "Siapa yang bilang begitu?" "Kau tembak dia di kepala?" "Astaga!" "Mereka kebal!" Suara-suara itu terdengar di semua jaringan komunikasi. "Semuanya diam!" Mendadak terdengar perintah. "Tetap di tempat kalian!" Aku mendengar suara yang kedengarannya lebih tua, berpengalaman. Tapi, suaranya mendadak tenggelam oleh teriakan, dan lewat alat di mata kami, kami bisa melihat darah muncrat ke dalam mulut kelabu dengan gigi-geligi rusak. Orang itu tadinya ada di halaman salah satu rumah dekat jalan. Pemilik rumah itu mungkin mengunci beberapa anggota keluarganya yang terinfeksi sebelum meninggalkan rumahnya. Mungkin ledakan-ledakan sebelumnya membuat pintu rumah itu rapuh, karena mereka mendadak menerobos keluar dan menerjang pria malang itu. Kamera di senapannya merekam segalanya lewat sudut yang sangat tepat. Ada lima zombie; satu pria, satu wanita, dan tiga anak kecil. Semuanya menindihnya di halaman. Si zombie pria menahan dadanya, ketiga anak itu menahan lengan-lengannya, dan si wanita mencoba menggigit menembus pelindung wajahnya. Wanita itu akhirnya berhasil merobeknya, dan aku tak bisa melupakan teror di mata pria malang itu ketika si wanita menunduk dan mengoyak lepas dagu serta bibir bawahnya. "Mereka di belakang kami!" Seseorang berseru lagi. "Mereka ada di setiap rumah! Pertahanan kita tembus!" Tiba-tiba semuanya jadi gelap, dan hubungan terputus dari luar. Aku mendengar lagi suara pria yang lebih tua itu, "...semuanya mundur..." Dia berusaha keras mengontrol suaranya, sebelum jaringan komunikasinya juga terputus. Kupikir cuma ada jeda beberapa detik, lalu setelah komunikasi terputus, tiba-tiba saja pesawat penyerang gabungan mendesing di atas kami. Aku tidak melihat mereka meluncurkan senjata. Aku sedang berlindung di dalam lubangku, mengutuk semua orang dan diriku sendiri karena tidak menggali lubang lebih dalam. Mendadak tanah bergetar dan langit jadi gelap. Serpihan tanah, debu dan abu melayang dimana-mana. Ada sesuatu yang menghantam punggungku, di antara kedua tulang bahuku. Rasanya empuk dan berat. Ketika aku berguling, ternyata itu kepala dan sepotong badan, nampak gosong terbakar tapi masih berusaha menggigitku! Aku langsung menendangnya menjauh dan buru-buru keluar dari lubang perlindunganku, tepat saat serangan kedua dilepaskan. Aku melihat gumpalan asap hitam membubung dari tempat para gerombolan itu tadinya berada. Jalan tol, rumah-rumah, semuanya tertutup kabut. Aku melihat teman-temanku keluar dari lubang perlindungan, melongok keluar dari tank dan Bradley mereka, semuanya menatap ke arah yang sama. Ada keheningan yang terasa seolah berjam-jam. Kemudian mereka datang, muncul dari balik asap, seperti mimpi buruk semua bocah. Beberapa tubuhnya berasap, yang lain bahkan masih terbakar...beberapa berjalan, beberapa merangkak, dan ada yang menyeret dirinya di jalan dengan isi perut terburai. Mungkin satu di antara dua puluh masih bisa berjalan, yang berarti masih ada beberapa ribu. Dan di belakang mereka, masih ada barisan jutaan zombie yang tak tersentuh serangan udara! Pertahanan kami jebol. Aku tak ingat semua detilnya, hanya sekilas: orang-orang berlari, menjerit, reporter berlarian. Aku ingat seorang reporter berkumis tebal ala Yosemite Sam mencoba menarik pistol Beretta dari rompinya sebelum tiga zombie terbakar menjatuhkannya. Aku ingat seorang pria membuka paksa sebuah mobil stasiun TV, melempar keluar reporter pirang cantik, dan mencoba melarikan mobil itu, sebelum sebuah tank menggilas mereka. Dua helikopter berita bertabrakan di udara, menghujani kami dengan serpihan. Ada satu pilot helikopter Comanche yang pemberani mencoba membabat zombie dengan baling-balingnya, sampai baling-balingnya tersangkut di mobil dan membuatnya melayang menghantam gedung A&P. Ada yang menembak gila-gilaan...aku terhantam di dadaku, tepat di tengah perisai baju pelindungku. Rasanya seperti menghantam tembok, padahal aku berdiri diam. Aku terpental, napasku sesak, dan tiba-tiba saja, ada idiot yang menyalakan bom cahaya di depanku. Duniaku rasanya jadi putih. Telingaku berdenging. Aku membeku ketika lengan-lengan mencengkeramku, meraih lenganku. Aku menendang dan meninju, dan rasanya aku ngompol di celana. Aku menjerit-jerit, tapi aku tak dengar suaraku sendiri. Ada lebih banyak tangan mencengkeramku. Aku menendang, meronta, mengutuk, menangis...dan tiba-tiba, rahangku ditinju. Aku tidak pingsan, tapi aku seketika rileks. Mereka teman-temanku, bukan zombie. Zombie tidak memukul. Teman-temanku membawaku ke tank Bradley terdekat, dan pandanganku sedikit jernih, cukup untuk melihat dunia luar yang menghilang ketika pintu tank ditutup. (Dia hendak meraih sebatang rokok lagi, lalu mengurungkan niatnya.) Aku tahu "sejarawan profesional" menganggap apa yang terjadi di Yonkers sebagai "kegagalan besar dalam dunia militer," bukti bahwa militer selalu menyempurnakan teknik bertempur yang cocok untuk perang terakhir tapi tidak untuk perang selanjutnya. Buatku, itu omong kosong besar. Memang benar kami tidak siap; latihan kami, senjata canggih, semua gagal total. Tapi apa yang membuat kami gagal bukan masalah persenjataan; itu adalah hal yang sama tuanya dengan sejarah perang itu sendiri. Rasa takut. Ya. Itu adalah rasa takut. Kau tidak perlu jadi Sun Tzu untuk mengerti bahwa perang itu bukan soal membunuh semua lawan, tapi cukup menakuti mereka agar perang bisa cepat selesai. Patahkan semangat mereka. Itulah yang dilakukan semua pasukan terhebat. Mulai dari cat perang di wajah, blitzkrieg, dan...apa itu namanya yang kita lakukan di Perang Teluk Pertama? Kejutkan dan Kagetkan? Ya, itu dia. Tapi bagaimana kalau musuhmu tak bisa dikejutkan atau dikagetkan? Bukannya tidak mau, tapi secara biologis memang tidak bisa! Itulah yang terjadi di New York hari itu, yang membuat kita hampir kalah. Fakta bahwa kami tidak bisa menakuti zombie, dan malah membiarkan mereka menakuti kami! Mereka tidak takut! Berapapun yang kami bunuh, mereka tidak pernah takut! Yonkers harusnya jadi saat ketika kami memberi harapan pada rakyat Amerika, tapi kami malah bisa dibilang mengucapkan selamat tinggal pada mereka. Kalau bukan karena Rencana Afrika Selatan, kita semua pasti sudah mengerang juga. Hal terakhir yang kuingat adalah Bradley kami terpelanting seperti mobil mainan. Aku tak tahu darimana sumber ledakannya, tapi pasti dekat. Seandainya aku masih berdiri di luar sana, aku pasti tak akan ada di sini sekarang. Apakah kau pernah melihat efek senjata termobarik? Apa kau pernah tanya orang-orang berpangkat itu? Aku yakin kau tak pernah dapat informasi detail. Kau mungkin akan dengar soal panas dan tekanan tinggi, bola api yang terus membesar, meledak, dan meremuk serta membakar apapun yang ada di sekitarnya. Kedengarannya sudah cukup mengerikan, bukan? Yang tak kau dengar adalah efek setelah ledakannya, ketika bola api itu mendadak mengerut dan menciptakan ruang hampa. Siapa saja yang masih hidup setelah ledakan akan mendapati seluruh udara terhisap keluar dari paru-paru mereka, atau paru-paru mereka tersedot keluar lewat mulut. Tak ada seorangpun yang akan hidup untuk menceritakan hal itu. Itulah sebabnya mudah bagi Pentagon untuk menutup-nutupinya, tapi seandainya kau bertemu dengan zombie yang berjalan dengan paru-paru menggelantung di luar mulutnya, beri dia nomor teleponku. Senang bisa bicara dengan sesama veteran Yonkers. |
Categories
All
Archives
November 2018
|